Menentukan pemimpin di DKI Jakarta sangat dibutuhkan bibit unggul sebagai pemimpin daerah dalam mengemban amanah sebagai seorang pemimpin, berangkat dari sinilah diperlukan sebuah pemikiran yang mendalam, agar tejadi keseimbangan dalam kehidupan ditengah-tengah masyarakat dalam menentukan seorang pemimpin disuatu daerah.
Keberadaan masyarakat pribumi semakin tergerus arus demokrasi yang kebablasan. Mengingat sebuah pemimpin disuatu daerah sudah semestinya dipimpin anak terbaik dari daerah yang akan berlaga diajang pertarungan pilkada, tetapi diera demokrasi yang kebablasan banyak pemimpin loncat dari sana-kemari, untuk mencari tempat strategis dengan tujuan membuang hajat nafsu memperoleh kekuasaan sesaat.
Dengan loncat dari daerah kedaerah lain dengan ambisi menjadi penguasa daerah yang lebih strategis, tentu merupakan sebuah dilematis yang mewarnai di pilkada DKI Jakarta. Mengingat dalam sebuah tatanan demokrasi sudah semestinya menyelesaikan amanah didaerah yang menjadi tanggung jawab seorang pemimpin terlebih dahulu, sebelum maju sebagai calon pemimpin didaerah lain.
Menyelesaikan masa tugas disuatu daerah sudah menjadi tanggung jawab seorang pemimpin dikala mendapatkan amanah dari masyarakat pemilih, tetapi malah meninggalkan daerah yang belum selesai masa tugasnya, berarti telah terjadi sebuah pengingkaran terhadap masyarakat dalam menjalankan amanah dari para pemilih.
Seperti: pemimpin Solo loncat dalam pilkada DKI Jakarta, padahal belum menyelesaikan masa bakti di Solo, berarti sama dengan lari dari tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Bahkan lebih jauh lagi, ternyata pemimpin Solo yang mencalonkan di pilkada DKI Jakarta belum melakukan sebuah pengunduran diri sebagai pemimpin di daerah tersebut.
Masyarakat pribumi disuatu daerah jangan sampai dihilangkan dalam peta politis diajang pilkada, tentu masyarakat pribumi bukan hanya sebatas pemilih belaka. Namun sudah waktunya masyarakat pribumi menjadi pemimpin didaerahnya sendiri.
Lebih ironis lagi, apabila disuatu daerah dipimpin bukan warga pribumi, tetapi malah warga asing, seperti Cina atau bangsa lain, tentu sangat menyalahi tatanan dalam kehidupan yang berpangkal pada kearifan lokal. Bahkan dapat dibilang sebuah bentuk imperialisme baru diera pasca reformasi dengan berkedok demokrasi, padahal semua itu merupakan sebuah bentuk demokrasi yang penuh kompromi kebohongan.
Pilkada DKI Jakarta sudah waktunya masyarakat pribumi berani bicara atas nama masyarakat setempat, agar mendapatkan seorang pemimpin dari daerahnya sendiri, agar terjadi sebuah keseimbangan di alam demokrasi yang lebih punya nilai positif dalam membangun masyarakat secara universal.
Semoga masyarakat DKI Jakarta mendapatkan kebahagiaan dalam mencari pemimpin diajang pilkada putaran kedua nanti, Amiin.......
Salam dari kami Jejaring sosial kiber (www.kitaberbagi.com)..........